“ Man Shabara Zhafira “, Siapa orang
yang bersabar maka dia akan beruntung. Mantra itu selalu tersimpan dalam benak Syifa. Rintihan air mata
membasahi sekujur pipi Syifa, semenjak mendengar bahwa dia harus menghapus
impian indah yang dirancang jauh-jauh hari, sebelum dia lulus SMP. Walaupun
nilai UAN Syifa bagus, tapi Syifa harus rela meninggalkan impiannya sekolah di
SMAN 1 Bogor, demi keinginan orang
tuanya yang menyuruh Syifa untuk melanjutkan sekolah ke penjara suci. Syifa
rela menghapus jauh-jauh impian indahnya itu bukan karena apa tapi karena Syifa
tahu bahwa “ Ridhollah fi Ridhol Walidayni “, ridhonya Allah terletak
pada ridhonya kedua orang tua. Lenyap sudah impian indah Syifa. Semakin
dekat keberangkatan Syifa ke penjara suci, membuat mata indah di wajah Syifa
semakin tak tampak, begitu juga dengan bibir merah Syifa yang dulunya selalu
tersenyum kini tidak lagi.
Tiba sudah Syifa harus berangkat ke penjara suci, dia akan diantar ayah
dan ibundanya. Setiba disana Syifa harus mengikuti tes sesuai dengan ketentuan.
Alhasil Syifa lulus dengan nilai terbaik. Tetes air mata mengalir begitu saja
setelah kata selamat tinggal terlontar dari mulut ibu dan ayah Syifa. Sejumlah
santri baru menuju ke aula, disana mereka diberi tahu jadwal mereka
sehari-hari. Syifa terkejut setelah tahu bahwa jadwalnya sangat padat. Syifa
juga merasa bahwa Syifa seolah-olah dipaksa untuk bisa mengikuti kegiatan yang
sebegitu padatnya, padahal dulunya jadwal Syifa tak sepadat ini. Syifa tertekan
dengan semua ini, ketertekanannya membuat Syifa sering sakit. Lambat laun Syifa
bisa menyesuaikan diri, dan akhirnya Syifa juga mengerti bahwa semua ini demi
kebaikannya juga.
Semakin lama Syifa di penjara suci Syifa merasa ada kerenggangan
hubungan dengan ayahnya. Tiap Syifa menerima rapot hanya ibunya yang selalu
muncul di depan wajah Syifa. Syifa bertanya pada ibunya, kenapa tiap Syifa
menerima rapot Syifa tidak pernah dikunjungi ayah, bu? Ibunya menjawab, ayah
sekarang pergi keluar negeri, dia sekarang sangat sibuk, dia bilang dia mau
pulang kalau Syifa sudah pulang dari sini, sebelum berangkat ayahmu menitipkan
ini pada ibu. Apa ini bu? tanya Syifa. Surat dan kado dari ayahmu, kata ayahmu
kado dan surat itu disuruh dibuka setelah Syifa lulus dari sini, sahut ibu Syifa. Detik demi detik berlalu,
wajah seorang perempuan yang dipanggilnya ibu kini sudah pergi dari hadapannya.
Kerinduan Syifa pada ayahnya membuat tetes air mata bergelimang membasahi
wajahnya. Syifa beranjak menuju lemari berwarna coklat untuk mengambil bolpoin
hitam dan sebuah buku berwarna merah muda berisikan sepintas tentang kisah
Syifa di penjara suci yang tak lain Syifa hanya ingin mencurahkan secercah isi
hatinya di buku merah muda itu tentang kerinduannya pada sang ayah. Tetes air
mata terus bergelimang begitu saja saat Syifa menuliskan
Sabtu, 31 Januari 2015
Ayah dimana sekarang? Kenapa ayah
tidak pernah kesini? Selama ini Syifa selalu menunggu kedatangan ayah... kenapa
hanya ibu yang kesini yah, apa ayah sangat sibuk sampai-sampai Syifa tidak
pernah dikunjungi. Atau ayah hanya ingin menguji kesabaran Syifa, atau gimana
yah? Syifa rindu ayah yang dulu.... Syifa rindu akan kasih sayang ayah....
I Love you ayah
Puas sudah Syifa mencurahkan isi hatinya, tapi rasa rindu pada sang
ayah belum terobati. Tetes air mata terus bergelimang begitu saja sampai Syifa
tertidur lelap.
3tahun berlalu........
Dag dig dug hati Syifa bukan kepalang, perasaan takut, gelisah,
nerves tercampur jadi satu. Disebuah aula yang sangat besar Syifa dan ibunya,
dan teman teman yang lain yang juga ditemani oleh orang tua mereka
masing-masing sedang menunggu hasil pengumuman kelulusan. Saat ini Syifa tidak
memikirkan apa-apa lagi dia hanya memikirkan nilainya. Syifa berharap nilai
UANnya bagus, tapi kalau memang nilainya tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan dia akan ikhlas karena kesempurnaan hanya milik Allah semata.
Tiba-tiba Syifa terlelap dalam lamunannya, dia ingat akan masa lalunya tiga
tahun yang lalu. Dimana hari itu adalah hari yang tidak akan pernah terlupakan.
Hari yang sangat berarti bagi Syifa. Saat dimana hari itu hari ditinggalkannya
Syifa oleh seorang laki-laki yang sangat
menyayangi Syifa, layaknya seorang kakak. Namanya Raka. Sebenarnya hubungan Syifa
dengan Raka hanya sebatas sahabat tapi semenjak pengumuman kelulusan di SMP
selesai dan Raka mengungkapkan seluruh isi hatinya pada Syifa tapi, sebelum
Syifa menjawab ungkapan perasaan dari Raka, Raka langsung melontarkan kata
selamat tinggal. Raka bilang dia mau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
di SMAN 1 Bandung, dia akan kembali kesini setelah lulus SMA nanti. Tapi
sebelum Raka ke Bandung dia mengalami kecelakan yang amat sangat parah,
sehingga Raka meninggal, Syifa ditinggalkan begitu saja. Beberapa menit
kemudian panggilan nama Syifa membuat Syifa bangun dari lamunannya ternyata
panggilan nama itu menunjukkan kalau Syifa yang menjadi peraih nilai terbaik
satu sekolah. Tapi rasa bangga belum pernah puas bagi Syifa kalau sang ayah belum
kembali ke samping Syifa.
Dengan selesainya pengumuman kelulusan, Syifa langsung berpikir apa
yang harus dia lakukan setelah ini? Syifa tak menyangka dia akan kembali
kerumah dan akan bertemu sang ayah, Syifa berpikir dengan bertemu sang ayah,
kerinduannya akan terobati. Tanpa pikir panjang Syifa langsung mengajak ibunya
pulang dari penjara suci ini. Di tengah perjalanan pulang Syifa berpikir dia akan
membuka kado pemberian dari ayahnya di hadapan ayahnya langsung.
Sampai sudah Syifa dirumahnya. Syifa langsung masuk mencari ayahnya
mulai dari sudut depan sampai belakang tapi sang ayah belum nampak juga. Entah
mengapa perasaan Syifa semakin gelisah. Syifa tidak ingin kehilangan orang yang
sangat Syifa sayangi lagi, karena dulu sebelum dia berangkat ke penjara suci
dia sudah kehilangan orang yang sangat dia sayangi tak lain dia adalah Raka. Syifa
langsung bertanya pada ibunya, bu mana ayah? tanya Syifa. Ibunya menjawab, buka
saja kado dan suratnya, nanti akan ada jawaban di balik semua itu. Sang ibu
beranjak pergi dari hadapan Syifa, dia
tidak ingin melihat Syifa menangis saat tahu bahwa ayahnya sudah pergi
meninggalkan Syifa semenjak tiga tahun yang lalu. Syifa langsung beranjak untuk
membuka kado dan surat dari ayahnya. Pertama Syifa membuka kadonya dulu
ternyata berisikan sebuah Al-qur’an. Syifa senang dengan kado itu tapi setelah
Syifa membaca surat pemberian dari ayahnya keringat deras mengguyur di pelipis
mata Syifa setelah tahu isi suratnya
Syifa maafkan
ayah, ayah sudah membuat kamu terpaksa akan perintah ayah, tak lain semua ini
ayah lakukan karena ayah takut tidak bisa membekali ilmu agama yang banyak
padamu. Syifa kejarlah cita-citamu,
jangan putus asa, buktikan kalau Syifa bisa tanpa ayah. Selamat tinggal Syifa,
maaf kalau ayah tidak memberitahumu tentang penyakit yang ayah derita selama
ini karena ayah takut melihat kamu bersedih di depan wajah ayah.........
Semenjak Syifa tahu kalau ayahnya meninggal dia terlihat semakin
kurus, pucat. Syifa sadar akan takdir Allah bahwa semua orang itu akan meninggal.
Walaupun Syifa sudah kehilangan dua orang yang sangat Syifa sayangi tapi
semangat juangnya untuk meraih cita-citanya tetap gigih. Mantra“ Man Shabara
Zhafira “, selalu tersimpan rapat-rapat dalam benak Syifa. Beberapa hari
kemudian Syifa memutuskan untuk
menghilangkan beban pikirannya dengan menulis. Alhasil semua tulisannya Syifa
dimuat oleh penerbit terkenal, akhirnya Syifa sadar bahwa semua yang dia jalani
adalah kehendak yang maha kuasa. Syifa juga sadar kalau orang yang sabar akan
mendapatkan keberuntungan yang tak disangka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar